Penulis: Ach Jalaluddin Ar Rumi – Pengajar Diniyah Nurul Jadid
JAGA hutan jaga hidup, pepatah ini tampak sederhana, tetapi memuat pesan mendalam tentang bagaimana manusia seharusnya membaca alam. Hutan bukan sekadar bentangan hijau di peta Indonesia. Ia adalah ruang hidup, penopang stabilitas ekologi, sekaligus amanah yang diwariskan kepada kita untuk dirawat, bukan dieksplorasi tanpa batas.
Dalam perspektif Maqāṣid ‘Āmmah, hutan berada dalam jantung kemaslahatan umum. Ia merupakan instrumen untuk menjaga keberlangsungan kehidupan dan mencegah kerusakan. Sementara itu, negara sebagai pemegang otoritas publik memikul tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan kebijakan yang dibuat selaras dengan perlindungan atas kemaslahatan tersebut.
Namun realitas yang kita saksikan di Sumatera menunjukkan adanya jurang lebar antara idealitas Maqāṣid dan praktik kebijakan. Banjir bandang, longsor, dan rangkaian bencana ekologis lainnya lahir dari perluasan perkebunan sawit, pertambangan, hingga konversi lahan berskala besar. Semua itu menandakan bahwa kalkulasi ekonomi jangka pendek masih lebih dominan ketimbang komitmen jangka panjang menjaga kelestarian lingkungan.
Hutan dan Maqāṣid ‘Āmmah
Dalam pandangan Islam, Maqāṣid ‘Āmmah mencakup nilai-nilai universal: menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs), keturunan (ḥifẓ al-nasl), akal, harta, dan agama. Menjaga jiwa merupakan fondasi utama. Ketika hutan rusak, maka kehidupan manusia ikut terancam. Banjir, longsor, kekeringan, krisis udara bersih, hilangnya sumber pangan—semuanya adalah konsekuensi dari ekosistem yang runtuh.
Maka, melindungi hutan bukan sekadar urusan lingkungan. Ia adalah bagian dari menjaga diri, generasi, dan tatanan hidup sosial. Prinsip “lā ḍarar wa lā ḍirār”—tidak boleh memberi maupun menerima mudarat—menegaskan bahwa alam tidak boleh diperlakukan sebagai objek eksploitasi semata. Deforestasi masif tanpa kendali jelas merupakan bentuk mafsadat yang bertentangan dengan Maqāṣid.
Kebijakan Publik dan Kepentingan Ekonomi
Negara memang berkewajiban mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun persoalan muncul ketika pembangunan ekonomi dilakukan dengan mengorbankan keberlanjutan ekologis. Hutan diperlakukan sebagai sumber daya yang dapat ditarik manfaatnya dengan cepat, sementara dampak jangka panjangnya diabaikan.
Di sinilah posisi Maqāṣid ‘Āmmah menjadi relevan—sebagai etika pengarah yang mengingatkan bahwa pembangunan tidak boleh berjalan dengan menghapus masa depan. Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang memadukan kepentingan ekonomi dengan keberlanjutan alam.
Menjembatani Maqāṣid dan Kebijakan Publik
Hutan seharusnya dipandang sebagai aset strategis jangka panjang, bukan komoditas yang dihabiskan. Negara memegang peran krusial untuk menghadirkan regulasi yang tegas: bukan hanya mencegah kerusakan, tetapi memastikan pemanfaatan hutan berjalan secara bijak, berkelanjutan, dan berpihak pada masyarakat luas.
Jika prinsip Maqāṣid diterapkan secara sungguh-sungguh, maka kebijakan tentang hutan akan diarahkan pada pencegahan mafsadat ekologis, perlindungan kehidupan masyarakat, pelestarian sumber daya bagi generasi mendatang, distribusi manfaat yang adil antara negara, perusahaan, dan masyarakat adat, serta penegakan hukum yang tidak pandang bulu.
Hutan, pada akhirnya, adalah simpul yang menghubungkan kesejahteraan ekologis, kemaslahatan manusia, dan arah kebijakan publik. Ketika hutan rusak, bukan hanya alam yang kehilangan daya hidupnya, tetapi masyarakat dan generasi masa depan ikut menanggung akibatnya. Menjaga hutan berarti menjaga masa depan: tugas moral, spiritual, dan politik yang tidak boleh ditunda. Jika negara sungguh ingin mewujudkan kemaslahatan umum, maka hutan harus ditempatkan sebagai prioritas utama dalam pembangunan—amanah yang dijaga, bukan komoditas yang dibiarkan habis.(*)
