Probolinggo, Surau.ID – Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, menyelenggarakan seminar internasional bertajuk “Universal Islamic Values for a Peaceful and Inclusive Pesantren toward Global Civilization” pada Senin, (1/122025). Kegiatan yang berlangsung di Aula I pesantren tersebut menjadi ruang pertemuan berbagai pandangan global mengenai nilai-nilai Islam universal dan relevansinya bagi pembangunan pesantren yang inklusif, damai, dan ramah bagi seluruh warga belajar.
Seminar ini merupakan bagian dari upaya pesantren merumuskan kembali prinsip-prinsip dasar pendidikan Islam yang berorientasi pada kemaslahatan. Dalam konteks meningkatnya kesadaran publik terhadap isu perundungan di lembaga pendidikan, forum ini menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali peran pesantren sebagai ruang pengasuhan yang aman sekaligus pusat pembentukan karakter.
Penguatan Ekosistem Belajar yang Aman
Kepala Biro Kepesantrenan Nurul Jadid, Kiai Ahmad Madarik, menyoroti maraknya praktik perundungan di berbagai lembaga pendidikan. Ia menegaskan perlunya kerja bersama antara pesantren, sekolah, dan pemerintah untuk menciptakan ekosistem belajar yang sehat.
“Dunia pendidikan sedang menghadapi peristiwa yang kurang mengenakkan. Kita sering mendengar laporan bullying, entah di sekolah, di pesantren, bahkan kepada pengajar,” ujarnya.
Ia berharap upaya-upaya pencegahan kekerasan dapat diwujudkan secara sistematis di lingkungan pesantren. Menurutnya, menciptakan ruang belajar yang aman merupakan bagian dari tanggung jawab moral lembaga pendidikan.
“Pesantren Anti Perundungan adalah harapan kami. Pesantren harus lebih ramah anak dan ramah santri,” tambahnya.
Dari perspektif global, akademisi asal Australia, Rowan Gould, Co-Founder dan Co-Director Mosaic Connections Australia, menekankan bahwa nilai-nilai Islam memiliki kontribusi besar dalam membangun harmoni masyarakat yang kian terhubung. Konsep ukhuwah, menurutnya, merupakan modal sosial yang kuat untuk menjembatani perbedaan di tingkat lokal maupun internasional.
“Nilai-nilai Islam memberi kontribusi besar bagi peradaban, khususnya yang terbentuk di Asia Tenggara dan Indonesia. Ini sangat diperlukan bagi kemaslahatan global,” tuturnya.

Membangun Sistem Anti-Kekerasan Berbasis Empati
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama RI Jawa Timur, Akhmad Sruji Bahtiar, mengingatkan kembali peran historis pesantren dalam perjalanan bangsa. Ia menegaskan bahwa kontribusi pesantren bagi Indonesia tidak hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga dalam perjuangan kemerdekaan. Namun, menurutnya, keberlanjutan peran tersebut membutuhkan dukungan regulasi dan struktur kelembagaan yang lebih memadai.
“Kalau tidak ada pesantren, maka tidak ada negara. Dulu, para kiai dan tokoh tarekat telah melakukan banyak perlawanan dan kesiapan pasukan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,” kata Bahtiar, mengutip sejarawan Agus Sunyoto.
Bahtiar juga menekankan bahwa penguatan gerakan anti-perundungan tidak dapat bertumpu pada aturan semata. Diperlukan sistem, mekanisme pengawasan, dan budaya empati yang tumbuh di seluruh lapisan pesantren.
“Bahkan mikro-ekspresi kita saja bisa dimaknai kekerasan. Karena itu konstruksi besar untuk meniadakan kekerasan di pesantren sangat diperlukan,” tegasnya.
Melalui forum ini, Nurul Jadid mempertemukan pemikiran lokal dan global untuk membangun kembali konsep pesantren inklusif yang relevan dengan tantangan zaman. Di tengah meningkatnya kekhawatiran publik terhadap kekerasan di dunia pendidikan, seminar ini menghadirkan harapan baru bahwa pesantren dapat kembali menjadi ruang aman, ramah, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.(*)
