Oleh: Solu Erika Herwanda*
DIA dulu memang kakakku, tapi sekarang sudah berubah jadi seekor ngengat. Di ruangan ini dia tidak pernah lama. Hanya tiga puluh menit tiap dua puluh empat jam dia menemani, sejak dokter memintaku berbaring di sini dua hari lalu. Dia selalu mendekat dan hendak mencium keningku sebelum keluar. Namun, selalu pula aku mengamankan tiap inci wajah ini darinya. Bukan karena benci, aku tak ingin mulutnya menempel di keningku sebab belalai di mulutnya amat kotor dan menguarkan bau amis. Dia pasti suka menjilat apa saja yang tampak dari dua butir matanya yang gelap itu. Sejak malam dia menjadi ngengat, dia pasti tak pernah menolak apa pun untuk dijilat.
Aku menyalakan televisi. Seorang juru berita menyiarkan sebuah Villa di dekat pantai L yang menjadi daya tarik wisatawan mancanegara di musim liburan. Para warga lokal tampak ditodong alat perekam. Mereka bilang, mereka bangga. Kemudian hidung mereka memanjang. Aku tergelak. Mereka tampak repot mengatakan pada kru berita kalau mereka nyaman dengan tempat tinggal baru karena ukuran hidung mereka itu. Salah seorang lainnya pun mengaku senang dengan model dan konsep rumah yang saat ini mereka tinggali meski luas tanahnya jauh lebih sempit dari tempat tinggal mereka yang dulu. Mereka benar-benar senang hidup khas orang-orang elit. Rumah yang cantik meski tamu akan memilih selonjoran kaki di teras ketimbang harus berebut udara dingin dari pendingin ruangan yang harganya sangat terjangkau itu. Aku tak bisa berhenti tergelak. Bentuk mereka sangat unik. Manusia dengan hidung yang kian panjang lalu mereka membungkuk akibat punuk yang besar menjulang.
Aku menekan remote control. Perutku sudah cukup sakit, lantas saluran kupindah. Apalagi sekarang tak hanya perut. Kurasa dahi, pelipis, pipi, dan janggutku sebagaimana dinding gelas berisi lelehan es batu. Orang-orang dalam televisi itu berubah menjadi badut jelek yang menyeringai. Lalu sepersekian detak penunjuk jam berbunyi, dua perawat tergopoh-gopoh menuju brangkarku. Mereka meraba otot di lipatan sikuku. Cairan pada jarum sepanjang telunjuk ramping itu mengalir di darahku. Dan, sudah tidak ada apa-apa lagi, aku tidak merasa apa-apa lagi. Hanya suara mereka. Tak ada yang lain.
“Kasihan sekali, padahal hanya iklan.”
Mereka bilang iklan, menyedihkan. Hidup mereka—dua perawat itu—mungkin memang hanya dirancang demi mematuhi perintah dokter, karena itu mereka tak akan paham yang lain-lainnya.
***
Loria melangkah dari pintu otomatis rumah sakit jiwa. Sejumlah alat perekam menodongnya. Loria seperti selebriti yang baru naik daun akan sebuah kasus, lalu wartawan mengejar-ngejarnya demi sekelumit durasi jawaban. Wartawan itu memburu komentar yang akan melarisi siaran mereka, tentunya beralas tuntutan atasan, wartawan mengejar topik yang menjual. Sebagai misal tanggapan Loria terhadap program yang akan dilaksanakan pemerintah tentang kriminalisasi keluarga kelas rendah ketika menambah jumlah anak dan penanaman kartu memori positif bagi setiap warga dengan kondisi kejiwaan pasca-trauma.
“Ya, kita tetap mengawal program-program cemerlang itu, saya sebagai tangan kanan pak Gubernur provinsi J memastikan warga kami sebagai pionir yang tertib terhadap kebijakan pemerintah.”
Salah seorang wartawan televisi swasta menanyakan soal Eufori. Pertanyaan yang cukup mudah, tapi pertanyaan itu memaksa otak Loria selayaknya harus menyembunyikan raja dari bidak-bidak lain agar musuh tidak melakukan skakmat.
“Mohon doanya kepada teman-teman media semua, ya.” Loria menangkupkan dua telapak tangan lalu berlalu begitu saja membelah kerumunan wartawan dan menuju mobil dinas. Mobil itu dia dapat sehari setelah gubernur mengumumkan nama Loria menjadi salah satu tangan kanannya di pemerintahan. Mobil yang cara membukanya hanya dengan fitur suara Loria itu persis robot rakitan khusus buatnya yang bahkan bisa membawa keliling siapa pun di mobil ke mana pun tanpa harus ada yang mengendalikan setir.
Loria memerintah mobil itu melaju santai. Loria duduk di kursi penumpang, dari kaca mobil, kota tampak seperti lukisan eksotis yang terekspos di sampul buku. Mata Loria mengikuti gedung-gedung yang bergerak mundur seiring laju mobil. Tak ada aling-aling yang menghalangi penampakan gedung-gedung itu. Tak ada gerobak mangkrak yang menunggu jam buka, atau spanduk rombeng yang dibiarkan ribut dengan angin. Kedai-kedai berjajar anggun dengan polesan ruang makan dan antrean yang nyaman memenuhi standar postingan media sosial. Kedai itu dikelola oleh orang-orang dari negara maju. Atas pemikiran mereka, ekonomi di negara ini berkembang pesat. Lebihnya juga, banyak lapangan pekerjaan terbuka untuk warga negara tamatan sekolah menengah.
Mendadak, Loria tidak ingin lagi menatap gedung-gedung. Ketika matanya menatap lurus jalanan yang nyaris tak terasa gelombangnya, pikiran Loria beralih pada meja makan rumahnya dulu.
Malam itu usai makan bersama, tanggapan Mama pada keputusan Loria tidak pernah masuk deretan angannya. Mama tidak setuju mereka jadi bagian urbanisasi. Mamanya ingin mempertahankan rumah mereka, tapi diam-diam tanpa persetujuannya, Loria malah menandatangani surat pernyataan bahwa keluarga mereka sepakat melakukan urbanisasi. Mereka harus pindah malam itu juga. Dua orang mengenakan jaket kulit hitam khas orang-orang suruhan datang ke rumah mereka dan meminta mengosongkan rumah segera. Loria dan adiknya, Eufori, masuk mobil terlebih dahulu sementara mamanya—saat mereka lihat dari kaca mobil yang gelap—sedang berbicara ketus pada dua lelaki itu, dan tanpa Loria sempat berburuk sangka, isi senapan sudah menembus kepala Mama. Eufori histeris memberontak hendak keluar, tetapi pintu mobil terkunci. Sementara jantung Loria kebas, entah bagaimana mendetailkannya, Loria tidak pernah merasakan jantungnya seperti detik itu. Satu orang mendekati mobil. Satu lainnya terdengar menelepon ambulans. Setelah keduanya masuk mobil, mereka dibawa pergi. Malam itu Loria mulai merasakan sesuatu telah mengosongi ruang dalam dirinya. Sepanjang jalan Eufori meluncurkan air mata hingga tak ada sisa tenaga di tubuhnya. Loria menggenggam jemari adiknya erat-erat.
TIba di tujuan, di rumah baru, mereka disambut oleh dua orang yang sangat ramah. Dua orang itu meminta maaf atas ketidaksengajaan dua orang suruhannya membunuh Mama. Mereka menjabat tangan Loria dan bersumpah akan mewujudkan apa pun permintaan Loria dan Eufori asalkan Loria mau menerima maaf mereka. Eufori yang tersadar kembali histeris dan mulut kecilnya yang tak pernah dia gunakan untuk memaki, malam itu melahirkan puluhan kecoa. Loria memukul lubang mulutnya agar kecoa itu tak keluar lagi, tapi adiknya malah mengatainya seekor ngengat.
“Tidak ada yang lebih baik dilakukan selain usaha buat ketenangan Mama!”
“Ada! Tapi Kakak sudah bukan lagi manusia! Kakak adalah ngengat! Lihatlah, mulutmu menjijikan, matamu bulat gelap dan keruh, kau bukan lagi manusia, Kak!”
Malam itu Eufori diseret dua orang yang menjemputnya ke sebuah rumah sakit jiwa, dia dipulangkan, diberi obat-obatan dan detik ini dia sudah dipindah ke rumah sakit jiwa pusat yang akan melakukan uji coba penanaman kartu memori positif dalam otak.
Loria tak masalah dengan apa pun sebutan dari Eufori untuknya. Loria hanya mencemaskan beban pikiran Eufori yang terus memburuk tanpa obat-obatan. Loria berharap sekali penanaman kartu memori di otak nanti berhasil mengubah ingatan buruk menjadi positif, maka hidup adiknya akan bahagia lagi. Hanya Eufori keluarga yang dia punya setelah dua puluh lima tahun lalu kehilangan Papa yang gugur di medan tempur dan juga Mama yang menjemput takdirnya lebih dulu.
Loria tiba di kantor gubernur. Hari ini dia menerima tugas yang belum dia mengerti. Di hadapannya, Gubernur tersenyum penuh maksud. Loria dipersilakan duduk. Seperti biasa, ketika menghadap, Gubernur J melontarkan belasan pujian buat Loria yang artinya gubernur telah menyiapkan misi penting yang mesti Loria jalankan. Gubernur menunjukkan foto seorang mahasiswa dengan almamater kampus ternama.
“Dia putra daerah kita, punya penyakit seperti adikmu. Selalu berpikir buruk!” Gubernur menekan kata buruk itu di hadapan Loria. “Datangi keluarganya, bagaimanapun caranya, anak itu harus segera diobati seperti adikmu.” Wajah Loria datar, tetapi caranya mengangkat pantat dari kursi membuat gubernur mengangguk puas.
***
Aku terbangun. Seorang dokter perempuan tersenyum kepadaku. Dia menanyaiku, apa aku sudah bosan dengan obat-obat. Aku tak menjawab. Dia lantas memintaku tenang karena sebentar lagi obat-obat yang menutup mataku itu tak akan masuk lenganku lagi. Nanti hanya akan ada pikiran positif dan ingatan yang indah-indah. Katanya, aku tak akan takut lagi dengan pria berjaket kulit, akan biasa saja dengan suara ledakan, dan satu lagi, aku tidak akan melihat kakakku sebagai seekor ngengat. Itu semua akan menyenangkan. Aku tetap diam. Dokter menampilkan gambaran otakku setelah kartu sekecil memori itu tertanam di sana. Dokter bilang aku tak perlu khawatir dengan proses operasi, meski ini masih jadi program perdana rumah sakit, tapi mereka punya lebih dari dua dokter ahli untuk proses pemasangan kartu memori. Aku tak perlu takut. Dokter bilang, aku hanya perlu memikirkan perayaan apa yang aku inginkan untuk memulai hidup yang berkualitas itu. Operasi akan dilaksanakan besok, katanya lagi. Perawat pun memintaku membubuhkan tanda tangan di surat persetujuan tindakan, di sana aku terkejut karena tahi ngengat menempel sejajar dengan tempat di mana tanda tanganku harus dibubuhkan.
Surat persetujuan sudah ada di tanganku. Pulpen juga. Aku menggoreskan tinta pada kertas itu. Sambil menutup hidung, aku membuat gambar benang kusut untuk menghancurkan tahi ngengat yang kering dan menguning. Perawat dan dokter sangat terkejut dengan apa yang aku lakukan.
Aku melompat dari brangkar, berlari keluar.
Seharusnya dia tidak begitu. Kondisinya belakangan sudah membaik,” ucap dokter kepada perawat-perawat yang mendapat tugas mengejarku. Mereka tidak boleh melakukan apa pun pada kepalaku. Kupikir keputusanku sudah benar karena begitu mereka berlarian, wujud mereka semua pun berubah menjadi ngengat. Aku masuk ke kamar mandi rumah sakit dan menguncinya. Aku mencari cara agar ngengat tidak bisa menemukanku lagi. Aku pernah membaca, bahwa cara menyelamatkan diri dari musuh ialah menyamar jadi musuh itu sendiri. Aku pun mengubah diriku sebagai seekor ngengat, keluar melalui ventilasi persis seekor ngengat yang berusaha mengeluarkan diri dari lubang pintu. Dan setelah cukup lama aku berusaha, aku berhasil juga membawa tubuhku keluar dari ventilasi. Di ambang kusen ventilasi, kuhirup udara dari luar yang segar sekali. Aku berhasil menyamar menjadi seekor ngengat. Ngengat yang sayapnya berlumuran darah karena upayanya untuk terbang dan melayang-layang harus meruntuhkan kaca ventilasi. Namun akhirnya, ngengat itu tetap terbang dan melayang-layang [*]
*) Mahasiswi yang lahir dan tinggal di Madiun, di Ponorogo kuliah saja. Beberapa cerpennya bisa dibaca di Lensasastra.id, Matamata.co, Cerpen_Sastra, Ngewiyak.com, Omongomong.com, Janang.id, Golagongkreatif, Kompas.id, Majalah Elipsis, Ruang LiteraSIP, Kurungbuka.com. Bisa ditemui di Instagram: @me.soluryka atau FB: Solu Rika.
Tulisan ini pernah dimuat di Bacapetra.co, 17 November 2025.