Probolinggo, Surau.id – KH. Mohammad Hasan—yang sejak kecil bernama Ahsan bin Syamsuddin—lahir di Sentong, Krejengan, Probolinggo, pada 27 Rajab 1259 H atau sekitar tahun 1840 M. Dari keluarga ulama yang teguh menjalani laku ibadah, kecerdasan dan karakter keulamaan Ahsan ditempa sejak dini.
Ayahnya, KH. Syamsuddin atau Kiai Miri, bersama sang ibu, Nyai Khadijah, dikenal sebagai sosok yang disiplin, dermawan, dan hidup dalam tirakat panjang. Dalam lingkungan seperti itulah Ahsan tumbuh sebagai pribadi yang tawadhu’, tekun beribadah, dan memiliki daya hafal kuat. Bahkan sebelum beranjak remaja, sifat qana’ah dan kedisiplinannya telah tampak mencolok pada diri beliau.
Jejak Keilmuan dan Jaringan Pergerakan
Pendidikan dasar beliau ditempa di Pesantren Sentong di bawah bimbingan sang ayah, sebelum kemudian merantau ke berbagai pusat ilmu di Jawa Timur. Di Sukonsari, Pasuruan, beliau menimba ilmu kepada KH. Mohammad Tamin. Tiga tahun berikutnya beliau berguru kepada KH. Mohammad Cholil Bangkalan, yang memperkuat fondasi fikih, tasawuf, dan ilmu alatnya.
Setelah itu beliau berangkat ke Mekkah, menunaikan ibadah haji sekaligus bermukim selama tiga tahun untuk belajar kepada ulama-ulama besar seperti KH. Nawawi Banten, Sayyid Bakri bin Syatho al-Misri, hingga Habib Husein al-Habsyi.
Perjalanan panjang itu memperluas keluasan wawasan beliau dan mempertemukannya dengan jaringan ulama yang kelak menjadi pilar pergerakan nasional. Sebut saja KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng), KH. Nawawi (Sidogiri), KH. Syamsul Arifin (Sukorejo), serta para ulama tapal kuda lainnya—mereka adalah sahabat seperjuangan yang saling menguatkan dalam merekatkan basis umat. Hubungan itu menjadikan KH. Mohammad Hasan sebagai figur sentral dalam lanskap keulamaan Jawa Timur pada awal abad ke-20.
Sekembalinya ke tanah air, beliau mengasuh Pesantren Genggong dengan disiplin tinggi. Jadwal mengajarnya tersusun rapi: ba’da Subuh untuk kitab kuning, ba’da Ashar untuk tafsir, dan ba’da Isya hingga larut malam untuk Al-Qur’an serta ilmu alat. Waktunya terbagi antara mengajar, menerima tamu, menghadiri hajat masyarakat, serta merawat hubungan pesantren dengan warga. Dalam setiap jeda, ibadah malam menjadi amalan yang tak pernah beliau tinggalkan.

Ketika menghadapi kolonial Belanda, KH. Mohammad Hasan mengambil sikap non-cooperation. Tidak satu pun kebijakan atau simbol kekuasaan kolonial dibiarkan memasuki pesantrennya. Melalui tabligh dan pengajian umum, beliau menanamkan kesadaran kebangsaan, membangun semangat perlawanan, dan menguatkan moral masyarakat.
Gerilya beliau tidak selalu tampak sebagai pertempuran fisik, tetapi hadir dalam bentuk seruan batin dan penguatan ruh umat: bahwa melawan penjajah adalah bagian dari kewajiban agama.
Pada masa pendudukan Jepang, keteguhan itu diuji. Kelaparan melanda kawasan Genggong akibat penyitaan hasil bumi. Di tengah krisis, masyarakat menemukan tumbuhan bulat kecil yang kemudian dinamai “anggur bumi”—sejenis umbi yang justru tumbuh makin banyak meski terus dipetik. Warga meyakini keberkahan itu muncul berkat doa beliau, dan anggur bumi menjadi penolong hidup pada masa-masa paling kelam.
Menjelang kemerdekaan, beliau merasakan perubahan besar di depan mata. Beliau memerintahkan putranya, K. Nasnawi, membentuk barisan pejuang bernama Anshoruddinillah, sebuah pasukan yang disiapkan untuk menjaga agama dan tanah air. Ketika pertempuran 10 November meletus, barisan ini diminta polisi Kraksaan untuk diperkuat dan diubah namanya menjadi Barisan Sabilillah.
Genggong lalu berubah menjadi markas: pusat strategi, tempat persembunyian, gudang logistik, sekaligus ruang penggemblengan spiritual. Para pemuda seperti Non Akhsan hingga Lora Sufyan berada di dalamnya. Para pejuang dari berbagai daerah datang memohon restu beliau sebelum berangkat bertempur, menjadikan Genggong sebagai simpul penting gerakan perlawanan ulama Jawa Timur.
Warisan yang Terus Menyala
KH. Mohammad Hasan wafat meninggalkan warisan besar: pesantren yang kokoh, jaringan ulama yang luas, dan generasi santri yang kelak menjadi pelanjut perjuangan. Sejak kecil, beliau menunjukkan kecerdasan, hafalan kuat, adab tinggi, serta sikap dermawan dan qana’ah yang tidak pernah pudar hingga akhir hayat.
Dari semua atribut keteladanan itu, sosoknya dikenang sebagai ulama gerilyawan—kiai yang berdiri di garis depan perjuangan moral dan fisik. Gerilya beliau tidak semata mengangkat senjata, tetapi juga memerangi keputusasaan, menanamkan keberanian, dan menguatkan ruh umat. Beliau adalah figur yang menegakkan marwah pesantren sebagai benteng perjuangan bangsa.(*)
Sumber: https://www.pzhgenggong.or.id/kh-mohammad-hasan/