Penulis: Zainul Hasan R. – Founder Aksara Center
Pagi ini, sebelum suara wajan penggorengan berubah menjadi orkestrasi kewajiban rumah tangga, saya bangun dengan perasaan sedikit berat. Barangkali karena semalaman menonton video banjir di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.
Air bah yang membawa gelondongan kayu, rumah yang hanyut seperti kotak sepatu, dan orang-orang yang hanya bisa berpegangan pada nasib.
Sambil menunggu air panas untuk kopi saya siap, saya membuka ponsel. Refleks, jari menggulir Facebook, platform yang makin hari makin mirip buku catatan kusut, tapi tetap saja saya buka.
Di sana, tulisan K. M. Faizi muncul seperti tamparan lembut yang entah kenapa justru membuat dada saya bergetar. Budayawan, kiai, penulis, pengasuh Pesantren Annuqoyah Madura, tulisan beliau selalu punya gaya seperti hujan gerimis: pendek, tapi basahnya masuk sampai ke tulang-tulang.
Status pertama beliau: “Duka cita mendalam bagi para korban banjir dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, dan wilayah lainnya. Mintalah ampunan kepada Pencipta. Renungkanlah ciptaan-Nya. Mari kita mengheningkan cipta.”
Lalu ditutup dengan kalimat yang menukik: “Alam sedang berbicara, sudah saatnya kita mendengarkan.”
Saya terdiam. Kopi saya tiba-tiba seperti kehilangan aromanya.
Karena benar, alam memang sedang berbicara. Hanya saja kita terlalu sibuk, terlalu berisik, terlalu menganggap diri penting hingga tak sempat mendengar apa pun selain suara kita sendiri.
Lalu status kedua beliau muncul, lebih pedas, lebih jujur, sekaligus lebih menyakitkan: “Yang terus bicara soal agama, yang selalu mengagungkan sains, yang hidup dan mati demi sastra, semuanya hanya diam dan tak mampu berbuat apa-apa ketika melihat longsor dan banjir dengan gelondongan kayu terjadi di Sumatera. Di hadapan perubahan iklim, kalian benar-benar tak ada gunanya.”
Saya membaca kalimat itu lama. Ada keheningan yang aneh, semacam ruang kosong yang memaksa saya merefleksi: memang benar, kita selalu punya teori, pendapat, perdebatan panjang tentang moral, sains, sastra, bahkan teologi…
Namun di hadapan air bah, kita hanya manusia kecil yang tak lebih penting dari daun pisang hanyut di sungai.
Sibuk Mengurus Kursi
Dan ironinya, ketika alam sedang menjerit, sebagian elite ormas justru sedang sibuk mengurus kursi. Ya, kursi, benda empat kaki yang entah kenapa bisa membuat orang lupa bahwa mereka seharusnya berjalan, bukan duduk.
Konon, polemiknya karena tambang. Lucu, bukan?
Karena di Sumatera, yang sedang kebanjiran, yang tanahnya longsor, yang sungainya membawa kayu-kayu hasil penggundulan hutan, masalah terbesar yang diduga memicu bencana adalah… ya tambang itu.
Tetapi di sisi lain, ada ormas yang sedang berdebat apakah mereka boleh atau tidak ikut mengurus tambang. Entah siapa yang pertama kali bilang, tapi kalimat ini terus berputar di kepala saya:
“Kalau ormas sibuk mengurus tambang, siapa yang sibuk mengurus umat?”
Saya bukan ahli lingkungan, bukan ekonom, bukan aktivis tambang. Tapi saya cukup sering membaca berita untuk tahu bahwa yang rusak bukan hanya alam, tapi juga prioritas.
Bahwa kita sedang hidup di zaman ketika batang kayu di sungai Sumatera lebih banyak bicara daripada para pemimpinnya. Seakan-akan banjir itu tak hanya bencana, tapi cara alam mengirim surat teguran.
Sayangnya, surat itu tidak pernah sampai. Atau barangkali sampai, tapi kita memilih pura-pura tidak melihat. Dari titik itulah, cerita ini bergerak, menuju satu pengakuan yang tak bisa kita elakkan: di hadapan kayu gelondongan, kita semua tak ada gunanya.(*)