Puisi Amin Bashiri*
Air jatuh menahan dirinya pada permukaan langit. mendung menjadi laut dan angin sesekali tak menerbangkan muara apa saja. di tengah persiapan kami memanggil nama perjalanan sebagai pertemuan, hujan menjadi ikut dalam bagian absensi tanpa perencanaan. mari berkata bahwa hari ini begitu muak memuntahkan kalimat dalam bahasa yang sederhana.
Seperti hujan, air itu mengalir dari langit. terus mengguyur yang sebentar reda sebentar pasrah. lalu kami berjalan di tengah-tengahnya. bising. deru dan bunyi lain menyimpan cerita dalam versinya sendiri. kami terus berjalan hingga terjebak. mencari-cari jalan keluar tanpa pintu. mencari bingung setiap lekuk tulang. Air seperti musik siang hari, dan kami menjadi bagian dari tabuh dan tiupannya.
Air jatuh, dan kami sengaja membacanya dalam tiap arah. kami duduk di dinding bagian belakang, menekuri tiap bunyinya yang berhambur. air jatuh terus jatuh. ia jatuh ke tempat kami, jatuh masuk dan meresap ke kepala kami. membuatnya subur dan tumbuh. menjadi bagian tubuh bagian yang lain. kami terjebak dalam lebatnya. menguningkan warna tanda ranum usia. kami seperti ladang yang disirami. air menggenang sepanjang tubuh kami dan kami mulai menghitungnya dalam jari. ada sekitar lima menit sampai satu dua jam air membakar.
Dalam sisa, dan kami berani bicara sebagai gerombolan pencari pintu. air jatuh memenuhi ruang dan membentuk ruangan. menjadi tembok. kokoh. air mengucap bahasanya sebagai guyuran dan kami tak lelah menerimanya. tubuh yang genang dan tumbuh subur. kami dan air itu.
Sumenep, 2013 (re-write 2018)

*Amin, lahir di Sumenep, 29 Januari 1988. Menulis puisi, bermain teater, musik dan menggambar. 2011 berangkat ke Ternate, Maluku Utara dalam rangka mengikuti Temu Sastrawan Indonesia IV. 2018, didaulat sebagai penata lampu dalam pertunjukan TATANDA (Language Theatre Indonesia) dalam Pekan Teater Nasional di Jakarta.