Cropped Red S Simbol.webp
Surau.ID •
04 Desember 2025 | 00:15 WIB
Daerah

Dari Ladang ke Piring Sekolah: MBG Angkat Ekonomi Petani Jawa Timur

IMG
Arif Hermawan sedang memanen hasil taninya di greenhhouse dan siap dipasok ke dapur-dapur SPPG di Kabupaten Lumajang (Nur Hadi Wicaksono/detikjatim.com)

surau.id – Di tengah hingar-bingar peluncuran Makan Bergizi Gratis (MBG), ada tangan-tangan kecil dari desa — petani, peternak, dan pelaku usaha mikro — yang diam-diam membangun ketahanan pangan sekaligus harapan ekonomi baru. Mereka mungkin tak muncul di televisi, tapi kontribusi mereka nyata: dari ladang dan kandang menuju piring anak-anak di sekolah.

Berkat Makan Bergizi Gratis (MBG), hasil bumi dan ternak lokal kini menemukan “jalan” langsung menuju piring anak sekolah — dan, lebih dari itu, memberi nafas baru untuk petani dan peternak, serta ekonomi desa.

Di sebuah greenhouse sederhana di Desa Curah Petung, Kecamatan Kedungjajang, Kabupaten Lumajang, pemuda 25 tahun bernama Arif Hermawan mengatur ulang jadwal tanam dan panennya. 

Dahulu, sayuran hidroponik yang ia hasilkan, terutama selada, hanya dijual ke beberapa UMKM dan pelaku kuliner lokal. Namun sejak kehadiran dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai bagian dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), pasar bagi hasil taninya tiba-tiba terbuka luas. 

“Sekarang saya juga ikut menyuplai sekitar 30 kilogram sayuran setiap minggu ke SPPG Klakah. Kebutuhannya untuk menu makanan siswa penerima MBG,” ujarnya dengan senyum puas, seperti dikutip portalberitalumajang.go.id. 

Permintaan yang konsisten membuat Arif menambah kapasitas greenhouse-nya. Produksinya meroket. Awalnya, ia hanya panen setengah kuintal per minggu, kini bisa satu kuintal setiap minggu, atau sekitar 100 kilogram. 

Dilansir dari detik.com, harga selada hidroponiknya juga cukup menjanjikan, yakni sekitar Rp 28.000 per kilogram. Dari usahanya itu, Arif mengaku mampu meraup pendapatan sekitar Rp 10 juta per bulan. 

“Dengan adanya tingginya permintaan sayuran hidroponik, saya menambah satu unit green house. Untuk pendapatan bisa Rp 10 juta setiap bulannya,” pungkas Arif kepada detik.com.

IMG
Arif petani muda asal Lumajang yang menjadi salah satu pemasok di dapur SPPG, (ADE APRYANIS/RAME)

Namun cerita dari Lumajang hanyalah satu bagian dari perubahan yang lebih besar di Jawa Timur. Mengutip jatim.times.co.id, di Kabupaten Bondowoso, ada sosok petani semangka bernama Hariyanto, atau lebih dikenal “Rian Semangka Balap”. 

Enam bulan lalu, petani  semangka asal Desa Grujugan Lor, Kecamatan Jambesari Darussholah nyaris putus asa. Harga semangka hasil panennya pernah anjlok parah, hingga Rp 2.500 per kilogram. 

Imbasnya, membuat banyak semangka busuk, karena biaya panen dan distribusi lebih besar daripada hasil jual. Kini, setelah menjadi pemasok rutin ke dapur SPPG MBG, nasibnya berubah drastis. Semangka panennya kini dibeli dengan harga lebih adil. 

“Sekarang harga semangka yang saya jual ke dapur SPPG bisa sampai Rp9.000 per kilogram. Dalam seminggu bisa tiga kali kirim, sekali kirim rata-rata 370 kilogram,” ujarnya saat ditemui jatim.times.co.id di Gudang Buah miliknya.

Dengan suplai yang stabil dan harga layak, Hariyanto sekarang bisa meraup omzet lebih dari Rp 10 juta per pekan, jauh dari kondisi putus asa enam bulan silam. Bukan hanya dirinya, ia kini mulai melibatkan petani lain di sekitarnya dan membentuk jaringan produksi yang menjangkau berbagai desa.

IMG
Hariyanto, petani semangka asal Kabupaten Bondowoso merupakan pemasok buah ke dapur-dapur SPPG hingga meraup jutaan setiap bulan. (ILHAM WAHYUDI/RADAR IJEN)

Dampak MBG juga menyentuh sisi sosial dan lingkungan, terutama di Kabupaten Lumajang, di mana pengolahan limbah makanan dari dapur MBG mulai dikembangkan menjadi ekonomi hijau. 

Beberapa pemuda setempat, seperti Asriafi Ath Thoriq, melihat limbah MBG bukan sebagai sampah, melainkan sebagai modal dan berhasil membuat eco-enzyme, pupuk cair, hingga bahan pakan ternak alternatif dari limbah sayur dan sisa makanan. 

“Limbah makanan seharusnya dipandang sebagai modal, bukan masalah. Dengan kreativitas dan bimbingan, kita bisa menciptakan produk ramah lingkungan sekaligus meningkatkan ekonomi lokal,” ujar Asriafi seperti dikutip ANTARA. 

Pemuda penerima Kalpataru dan Lencana Inovasi Desa dari Kementerian Desa tersebut berhasil mengolah eco enzyme, yakni cairan serbaguna hasil fermentasi limbah makanan yang dapat dijadikan disinfektan, sabun alami, pupuk cair, hingga bahan dasar pakan ternak ramah lingkungan.

Selain Asriafi, inovasi serupa juga dilakukan seorang petani muda, Dzaki Fahruddin, dari Kecamatan Yosowilangun, Lumajang. Ia mengumpulkan sisa makanan dapur MBG yang diolah menjadi eco enzyme dan pupuk cair untuk menyuburkan lahan pertaniannya.

“Prosesnya sederhana. Limbah makanan dicacah, dicampur gula merah dan air, lalu difermentasi selama tiga bulan,” ujar Dzaki.

Dari proses tersebut, ia bisa mendapatkan tanaman yang tumbuh lebih subur dengan biaya produksi lebih hemat. Para petani lain yang awalnya skeptis, kini justru ikut mengolah limbah MBG menjadi pupuk organik karena terbukti lebih ramah lingkungan dan efisien.

“Inovasi ini bukan hanya mengurangi sampah, melainkan juga menumbuhkan jiwa wirausaha hijau di kalangan anak muda desa,” ucapnya.

Program MBG ini juga memberikan efek majemuk bagi komunitas: petani kecil, peternak, pelaku UMKM pangan, bahkan pekerja distribusi dan dapur — semuanya mendapat manfaat. MBG telah berubah dari sekadar program makan gratis menjadi jaring pengaman sosial dan ekonomi, serta ruang kolaborasi lintas sektor. (*)

Penulis: Deva Mevlana
TAGS
White Surau
Media Kolaborasi Bersama untuk informasi yang lebih dekat dengan pembaca.

Langganan

Dapatkan artikel atau tulisan terbaru dari Surau.id
Copyright © 2025 Surau.id