Surau.id – Dua platform media sosial terbesar di Indonesia, Facebook dan Instagram, tengah menjadi sorotan setelah sebuah laporan investigasi Reuters mengungkap bahwa Meta—perusahaan induk kedua platform tersebut—ikut meraup keuntungan dari penayangan iklan penipuan dan barang terlarang.
Menurut laporan yang dirilis awal bulan ini, sekitar 10 persen atau US$16 miliar (setara Rp266 triliun) dari pendapatan Meta berasal dari iklan bermasalah, termasuk promosi penipuan, judi ilegal, hingga penjualan produk medis terlarang.
Dokumen internal yang diperoleh Reuters juga menunjukkan bahwa Meta selama tiga tahun terakhir gagal mengidentifikasi serta menghentikan masifnya iklan scam yang tayang di Facebook, Instagram, dan WhatsApp.
Salah satu dokumen bertanggal Desember 2024 mencatat bahwa pengguna platform Meta rata-rata terpapar sekitar 15 miliar iklan penipuan setiap hari.
Dokumen lain menyebutkan Meta meraup pendapatan sekitar US$7 miliar per tahundari iklan-iklan tersebut. Padahal sebagian besar pengiklan ini telah ditandai mencurigakan oleh sistem internal.
Meski demikian, Meta hanya akan memblokir pengiklan apabila sistem otomatisnya memprediksi setidaknya 95 persen kemungkinan mereka melakukan penipuan—ambang batas yang dinilai terlalu tinggi oleh banyak pengamat.
Temuan Reuters langsung mengundang reaksi keras dari dua senator Amerika Serikat, Josh Hawley dan Richard Blumenthal. Keduanya meminta Komisi Perdagangan Federal (FTC) serta Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) membuka penyelidikan resmi terhadap Meta.
“FTC dan SEC harus segera membuka penyelidikan dan, jika laporan itu akurat, melakukan penegakan hukum secara tegas bila diperlukan untuk memaksa Meta mengembalikan keuntungan, membayar denda, dan menghentikan penayangan iklan semacam itu,” tulis Hawley dan Blumenthal dalam surat yang dikutip Reuters, Selasa (25/11).
Kedua senator itu juga meragukan klaim Meta bahwa mereka telah bekerja keras menekan iklan ilegal. Mereka menunjuk Ad Library—basis data publik iklan Meta—yang menurut mereka masih memuat berbagai promosi terlarang, mulai dari judi ilegal, penipuan kripto, deepfake layanan seks berbasis AI, hingga scam bantuan federal palsu.
Dalam suratnya, Hawley dan Blumenthal menyebut Meta memperkirakan platformnya terlibat dalam sepertiga dari total penipuan di AS. Mereka juga menautkan data FTC yang menyebut warga AS merugi hingga US$158,3 miliar akibat penipuan pada tahun lalu.
Keduanya bahkan menuduh Meta membiarkan iklan scam untuk tetap menghasilkan pendapatan, terutama setelah perusahaan memangkas jumlah staf keamanan.
“Scam telah diizinkan mengambil alih Facebook dan Instagram karena Meta memangkas drastis staf keamanannya… bahkan ketika perusahaan menggelontorkan dana besar untuk proyek AI generatifnya,” tulis mereka.
Beberapa contoh iklan palsu turut disorot, termasuk konten deepfake yang meniru tokoh politik hingga iklan yang mengatasnamakan pemerintah AS—salah satunya mengklaim Presiden Donald Trump menawarkan uang US$1.000 bagi penerima bantuan pangan.
Dalam laporan Reuters juga disebutkan bahwa banyak pelaku scam berasal dari kelompok kejahatan siber di China, Sri Lanka, Vietnam, dan Filipina.
Menanggapi laporan tersebut, Meta menyatakan bahwa mereka telah berhasil menurunkan laporan penipuan dari pengguna hingga 58 persen dalam 18 bulan terakhir. Sementara terkait kritik dari dua senator AS tersebut, Meta menilai tudingan itu tidak proporsional.
“Kami secara agresif memerangi penipuan dan scam karena orang di platform ini tidak menginginkan konten ini, pengiklan yang sah tidak menginginkannya, dan kami pun tidak menginginkannya,” ujar Andy Stone, Juru Bicara Meta.(*)