Surau.id – Intelektual Nahdlatul Ulama (NU), Gus Nadirsyah Hosen, mengungkapkan kritik keras terhadap kondisi internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia menilai PBNU tengah mengalami kemacetan struktural hingga mencapai titik yang ia sebut sebagai “matinya mesin organisasi.”
Kritik tersebut disampaikan melalui serangkaian unggahan di platform media sosial X, yang kemudian menjadi sorotan publik dan jamaah Nahdliyin.
Dalam penjelasannya, pria yang akrab disapa Gus Nadir itu, menyebut konflik di tingkat pimpinan puncak PBNU telah membuat jam’iyyah berjalan “terbalik.” Ia menuturkan bahwa Ketua Umum PBNU saat ini berkonflik dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan Bendahara Umum (Bendum), serta tidak harmonis dengan Rais Aam.
Di sisi lain, Rais Aam juga disebut tidak sejalan dengan Katib Aam, yang merupakan kerabat Ketua Umum. Menurutnya, friksi ini berdampak langsung pada tatanan administrasi organisasi.
“Akhirnya, surat resmi Syuriyah hanya ditandatangani Rais ‘Am. Surat Tanfidziyah hanya diteken Ketum. Padahal aturan mengharuskan empat tanda tangan: Rais ‘Am, Katib ‘Am, Ketum, dan Sekjen,” kata Gus Nadir dalam unggahannya.
Ia menegaskan bahwa persoalan tersebut bukan lagi sekadar masalah manajerial, melainkan tanda kerusakan mendalam dalam tubuh PBNU. “Ini soal mesin yang mati dan dibiarkan karatan selama berbulan-bulan. Masing-masing kubu berjalan sendiri. Jama’ah Nahdliyin bergerak tanpa arahan, tanpa bimbingan, tanpa kepemimpinan PBNU,” ujarnya.
Menurut Gus Nadir, AD/ART organisasi kini ibarat “dokumen mati” karena tidak lagi menjadi acuan dalam pengambilan keputusan. Ia juga menilai bahwa visi besar PBNU telah menyimpang dari nilai-nilai yang kerap diklaim oleh para pemimpinnya.
Mulai dari tagline “menghidupkan kembali Gus Dur” yang tidak disertai sikap kritis, hingga keterlibatan dalam dukungan politik, polemik izin tambang, dan undangan kepada tokoh internasional yang ia sebut kontroversial.
“Satu Abad NU bukan dirayakan dengan kejayaan, tapi dilewati dengan perih dan prihatin yang menyesakkan dada,” tulisnya dalam unggahan yang sama, menegaskan kekecewaannya atas kondisi organisasi saat ini.
Dalam analisis lanjutan, Gus Nadir menyinggung bahwa akar persoalan konflik internal PBNU berada pada struktur kepemimpinan yang terlalu melebar. Baik Rais Aam maupun Ketua Umum sama-sama dipilih Muktamar, sehingga keduanya merasa memegang legitimasi langsung dari jamaah. Situasi inilah yang menurutnya menyebabkan roda organisasi PBNU tersendat hingga berhenti selama berbulan-bulan.
Ia kemudian mengajukan gagasan reformasi struktural, Muktamar cukup memilih Rais Aam, dan Rais Aam terpilih diberi mandat menunjuk Ketua Umum PBNU. Model ini dinilai akan menghilangkan dua pusat legitimasi sekaligus meminimalkan munculnya kutub kepemimpinan yang saling berseberangan.
Selain pembenahan struktur, Gus Nadir juga menekankan pentingnya kemandirian ekonomi PBNU, terutama dalam pelaksanaan Muktamar. Ia menilai pelaksanaan Muktamar harus kembali sederhana, tanpa biaya dari pihak luar, tanpa fasilitas mewah, dan tanpa ketergantungan pada pendanaan elite.
“Semua itu hanya melahirkan ketergantungan, pembelokan loyalitas, dan kooptasi kepentingan yang tidak pernah menguntungkan jama’ah,” ucapnya.
Menurutnya, delegasi PWNU, PCNU, maupun PCINU seharusnya datang dengan biaya swadaya agar forum tersebut benar-benar menjadi ruang musyawarah, bukan arena transaksi politik.
Gus Nadir menutup pernyataannya dengan menyerukan agar NU kembali pada nafas awal para kiai pendiri: kesederhanaan, kejelasan manajemen, dan pelayanan kepada umat.
“NU terlalu besar untuk dibiarkan kacau, dan terlalu mulia untuk dibiarkan diseret oleh kepentingan jangka pendek. Menyederhanakan NU bukan kemunduran: justru itulah satu-satunya jalan untuk melangkah maju,” tegasnya.(*)