Surau.ID – Suatu ketika, dalam perjalanan perang bernama Ghazwah Dzatur Riqa’, Rasulullah Muhammad SAW beristirahat seorang diri di bawah pohon samurah. Para sahabat menyebar mencari tempat teduh lain, sementara suasana sekitar begitu tenang.
Tiba-tiba, seorang musyrik bernama Du’tsur (dalam riwayat Imam Bukhari disebut Ghaurats Bin Al-Harits) mendekat perlahan dengan pedang terhunus. Ia meyakini Nabi sedang dalam posisi tak berdaya.
Dengan penuh kebencian, ia mengacungkan pedang ke leher Rasulullah dan berkata, “Wahai Muhammad, siapa yang bisa menolongmu?”
“Tidak bisa dianggap sedikit, tidak bisa dianggap remeh satu amal kecil sekalipun bila keluar dari hati yang bersih,” ujar Ustadz Riyadh Ahmad dalam ceramahnya ketika mengisi program Sirah Nabawiyyah di YouTube NU Online.
Jawaban Rasulullah terhadap ancaman itu sama sekali di luar ekspektasi Du’tsur. Nabi menjawab dengan satu kata yang keluar dari hati yang paling jernih:
“Allah.”
Menurut Ustadz Riyadh, satu kata dari Rasulullah membuat tangan Du’tsur bergetar hebat hingga pedangnya jatuh. Ia menggambarkan situasi tersebut dengan analogi sederhana: seseorang yang sudah membayangkan kemenangan mutlak, namun tiba-tiba kenyataannya berbalik, sehingga seluruh rasa percaya diri runtuh seketika.
Begitu pedang terlepas, Rasulullah mengambilnya dan kini giliran Nabi mengarahkan senjata kepada Du’tsur. Gemetar hebat, Du’tsur bahkan tidak mampu menyebut siapa yang dapat menolongnya.
“Mau bilang Allah, ia belum kenal. Mau bilang berhala, mana mungkin berhala bisa menolong,” jelas Ustadz Riyadh,
Namun alih-alih membalas, Rasulullah justru memperlihatkan kemuliaan akhlak yang membuat Du’tsur tersentak.
“Allah yang melindungiku dan melindungimu. Pergilah, engkau merdeka,” demikian sabda Nabi sebagaimana dikutip Ustadz Riyadh dari Sirah Nabawiyyah.
Du’tsur pulang dalam keadaan lemas dan terpukul oleh kejadian itu. Kepada kaumnya ia mengakui bahwa ia baru saja bertemu “manusia terbaik”. Dalam beberapa riwayat, ia kemudian mendatangi Rasulullah kembali untuk menyatakan keislamannya.
Di bagian akhir ceramahnya, Ustadz Riyadh menegaskan bahwa kekuatan ucapan sangat ditentukan oleh kebeningan hati.
“Kadang ucapan kita tumpul karena hati kita keruh. Tapi bila hati kita lillah (karena Allah), satu kata saja bisa menggetarkan,” kata Ustadz Riyadh, Pengasuh Ponpes DOAQU Semarang.
Ia menutup dengan perumpamaan pohon jati yang harus terus dipangkas ketika tumbuh bengkok: sebagaimana hati manusia yang harus terus diluruskan agar ucapan dan perjuangan memiliki nilai di sisi Allah.(*)
Tulisan ini disusun berdasarkan penjelasan Ustadz Riyadh Ahmad, Pengasuh Pondok Pesantren DOAQU Semarang, sebagaimana disampaikan dalam program Sirah Nabawiyyah di kanal YouTube NU Online: Perkataan Nabi yang Bikin Musuh Tak Berdaya.