Surau.ID – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohamad Syafi’ Alielha atau Savic Ali menilai hubungan Nahdlatul Ulama (NU) dengan negara pada era pascareformasi mengalami pergeseran mendasar. Relasi tersebut, menurutnya, tidak lagi relevan jika dipahami secara sederhana sebagai posisi berhadap-hadapan antara masyarakat sipil dan kekuasaan negara.
Savic menjelaskan bahwa demokratisasi telah membuka ruang partisipasi politik yang luas bagi warga NU. Akibatnya, banyak kader NU kini terlibat langsung dalam struktur pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kondisi ini membuat posisi NU menjadi lebih kompleks dibandingkan masa sebelumnya. Meski demikian, ia menegaskan bahwa secara prinsip NU tetap berada dalam ranah masyarakat sipil.
“NU itu jelas bagian dari masyarakat sipil. Warganya bukan pegawai negeri, bukan pegawai pemerintah, bukan TNI, bukan Polri. Sesimpel itu,” ujar Savic dalam diskusi bertajuk Menimbang Ormas Keagamaan Era Prabowo–Gibran dalam Demokratisasi Indonesia yang digelar Islami.co di Outlier Cafe, Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (12/12/2025).
Ia menyebut keterlibatan warga NU dalam kekuasaan merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi pascareformasi yang meniadakan sekat-sekat politik. “Kita sekarang melihat gubernur, bupati, wali kota dari NU ada di mana-mana. Dalam konteks tertentu, NU itu terepresentasi sangat nyata di dalam kekuasaan,” katanya.
Menurut Savic, situasi tersebut berdampak pada persepsi publik terhadap NU. Ketika negara mengambil kebijakan yang menuai kritik, NU kerap ikut diseret dalam sorotan karena sebagian warganya berada di lingkar pengambil kebijakan. Padahal, secara historis, NU tidak pernah dirancang sebagai organisasi yang berdiri dalam posisi ideologis melawan negara.
“NU sejak awal bukan organisasi yang didirikan dengan semangat oposisi politik. DNA-nya memang adaptif,” ujarnya.
Ia menilai pengalaman NU yang tampak berseberangan dengan negara pada masa Orde Baru lebih disebabkan oleh watak otoritarian rezim kala itu, bukan karena orientasi politik NU yang anti-kekuasaan. Savic juga menyinggung figur Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kerap dijadikan tolok ukur dalam menilai sikap NU hari ini.
“Kenapa banyak pihak kecewa dengan NU hari ini? Salah satunya karena benchmarking-nya Gus Dur,” kata Savic. Ia mengingatkan bahwa Gus Dur memimpin NU dalam konteks sejarah yang berbeda, ketika kritik keras terhadap negara menjadi kebutuhan politik dan moral.
Savic menegaskan bahwa sikap PBNU terhadap negara bukan berarti menerima kekuasaan tanpa kritik. Ia mengakui bahwa kecenderungan oligarki dapat muncul dalam organisasi besar mana pun, sehingga prinsip checks and balances tetap menjadi keharusan dalam demokrasi. “Kekuasaan memang cenderung korup, dan itu sebabnya demokrasi membutuhkan checks and balances,” ujarnya.
Namun, PBNU memilih untuk tidak bersikap apriori terhadap pemerintah. Savic mengatakan NU mengambil posisi skeptis sekaligus terbuka terhadap dialog dan kerja sama selama kebijakan negara dinilai membawa kemaslahatan. “Kita tidak boleh apriori. Tapi skeptis, iya. Karena kalau apriori, selesai semuanya,” katanya.
Ia menutup dengan menegaskan bahwa tantangan NU ke depan adalah merumuskan kembali peran masyarakat sipil yang relevan dengan dinamika demokrasi saat ini. Relasi NU dan negara, menurut Savic, harus terus dibaca secara kritis dan kontekstual agar tidak terjebak pada romantisme masa lalu maupun kedekatan yang berlebihan dengan kekuasaan, demi menjaga kepentingan umat dan nilai-nilai demokrasi.(*)