Cropped Red S Simbol.webp
Surau.ID •
13 Desember 2025 | 17:09 WIB
Pesantren

Kedekatan Ormas Keagamaan dengan Kekuasaan Berpotensi Lemahkan Peran Kontrol Sosial

Diskusi islamico
Guru besar UIN Jakarta Prof Iim Halimatussadiyah. (Foto: NU Online/Aru)

Surau.ID – Sejumlah akademisi mengingatkan bahwa hubungan yang semakin rapat antara organisasi kemasyarakatan keagamaan dan kekuasaan negara berisiko melemahkan peran masyarakat sipil dalam demokrasi. Kedekatan tersebut dinilai dapat mengikis fungsi kontrol sosial dan politik yang semestinya dijalankan civil society terhadap negara.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Iim Halimatussadiyah, menegaskan bahwa menjaga jarak dengan penguasa merupakan prasyarat penting agar masyarakat sipil tetap mampu bersikap kritis. Ia menilai, tanpa jarak yang sehat, fungsi checks and balances sulit dijalankan secara optimal.

“Peran civil society itu harus punya jarak dengan penguasa, karena fungsinya adalah check and balance. Kalau terlalu dekat, dikhawatirkan tidak bisa berkata tidak kepada negara,” ujarnya dalam diskusi Menimbang Ormas Keagamaan Era Prabowo–Gibran dalam Demokratisasi Indonesia yang digelar Islami.co di Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (12/12/2025).

Prof Iim menilai kedekatan ormas keagamaan besar dengan negara menunjukkan gejala kooptasi, baik melalui akses ekonomi maupun posisi strategis di pemerintahan. Situasi tersebut membuat batas antara negara dan masyarakat sipil kian kabur.

“Ketika negara sudah mengkooptasi civil society, misalnya melalui tawaran konsesi tambang atau posisi-posisi strategis, jarak itu menjadi terlalu dekat,” katanya.

Ia juga menyoroti dampak politik dari kedekatan tersebut, terutama dalam pembentukan opini publik. Menurutnya, pernyataan elite ormas keagamaan kerap menjadi legitimasi kebijakan negara karena pengaruh sosial yang besar.

“NU dan Muhammadiyah memiliki pengaruh besar terhadap publik. Ketika negara membutuhkan legitimasi dan dua organisasi besar ini mengatakan iya, publik juga cenderung ikut mengatakan iya,” ujarnya.

Lebih jauh, Prof Iim mengingatkan bahwa praktik kooptasi berpotensi memicu persoalan internal organisasi sekaligus memperlebar jarak sosial antara kelompok mayoritas dan minoritas.

“Ketika konsesi tambang diterima oleh organisasi mayoritas, sementara organisasi non-Muslim tidak, hal ini bisa memperlebar jarak mayoritas dan minoritas. Padahal relasi itu merupakan fondasi sosial penting di Indonesia,” tegasnya.

Pandangan berbeda disampaikan Direktur Maarif Institute, Andar Nubowo, yang melihat kedekatan ormas keagamaan dengan negara sebagai bagian dari dinamika panjang pascareformasi. Ia menilai pengalaman historis NU dan Muhammadiyah yang pernah berada di pusat kekuasaan turut membentuk cara pandang mereka terhadap negara saat ini.

“Setelah reformasi, NU dan Muhammadiyah sempat berada di panggung kekuasaan. Ketika kemudian kembali menjadi civil society, muncul semacam shock culture,” ujarnya.

Menurut Andar, pengalaman tersebut membuat ormas keagamaan cenderung mengambil strategi adaptif ketimbang berjarak secara tegas dari negara. Sejak sekitar 2017, relasi yang terbangun juga dipengaruhi oleh upaya negara merangkul kelompok keagamaan moderat di tengah menguatnya politik identitas.

“Hubungan yang terlalu dekat membuat organisasi berada pada posisi sulit untuk menolak kebijakan pemerintah, karena ada kekhawatiran dianggap berseberangan dengan negara,” katanya.

Ia menilai kondisi ini menempatkan relasi negara dan ormas keagamaan pada titik terdekat sepanjang sejarah Indonesia modern, sekaligus menghadirkan tantangan baru bagi keberlanjutan peran masyarakat sipil sebagai penopang demokrasi.(*)

Penulis: Redaksi Surau.ID
TAGS
White Surau
Media Kolaborasi Bersama untuk informasi yang lebih dekat dengan pembaca.

Langganan

Dapatkan artikel atau tulisan terbaru dari Surau.id
Copyright © 2025 Surau.id