Cropped Red S Simbol.webp
Surau.ID •
11 Desember 2025 | 16:24 WIB
Inspirasi, Pesantren

Kisah Kiai Sufyan Muda: Dituntun KH. Hasan Genggong Berguru kepada KH Zaini Mun’im

KH Sufyan
KH Ahmad Sufyan Miftahul Arifin (Grafis Surau.ID)

Surau.ID – KH Ahmad Sufyan Miftahul Arifin, yang kelak dikenal sebagai salah satu guru Thariqah Naqsyabandiyah sekaligus Pendiri Pondok Pesantren Sumber Bunga Situbondo, di usia mudanya pernah mengalami kegelisahan yang umum dialami santri: sudah cukupkah ilmu yang diperoleh, dan ke mana langkah selanjutnya harus dibawa?

Saat itu, Kiai Sufyan muda masih menimba ilmu di Pesantren Zainul Hasan Genggong, di bawah bimbingan langsung KH Hasan Genggong. Masa ngajinya dinilai telah khatam oleh sang guru. Sebagai santri yang haus ilmu, ia pun merasa masanya telah tiba untuk melanjutkan perjalanan keilmuan di pesantren lain.

Dengan memegang adab seorang murid, ia kemudian memutuskan untuk sowan, menghadap dan menyampaikan niatnya langsung kepada sang guru, KH Hasan Genggong.

Sebuah Niat, dan Pertanyaan yang Tidak Terduga

Hari itu, ia datang dengan mantap. Niatnya jelas: pindah pondok pesantren. Di hadapan gurunya, ia menyampaikan rencana itu dengan penuh hormat. KH Hasan Genggong menyimak dengan tenang, sebelum bersuara pelan tapi tegas.

“Ananda mau pindah ke pesantren mana?”

Dengan suara yakin, Kiai Sufyan muda menyebutkan nama pesantren tujuan. Namun respons sang guru tidak seperti dugaan. Alih-alih memberikan restu atau masukan, KH Hasan Genggong justru melempar pertanyaan lain yang membuat dunia si santri muda berhenti sesaat.

“Siapa kiainya disana?”

Pertanyaan sederhana itu menghentikan langkah yang sudah direncanakan rapi. Sejenak ia terdiam, matanya menunduk. Ia datang dengan membawa nama pesantren, tetapi pulang dengan tanda tanya yang jauh lebih dalam: apa arti mondok sebenarnya?

Bagi Kiai Sufyan muda, pertanyaan itu bukan sekadar menggugurkan niat. Itu adalah pintu masuk menuju cara pandang baru: pesantren bukan hanya bangunan, tradisi, dan nama besar; pesantren adalah siapa yang mengajar di dalamnya.

Sejak saat itu, setiap kali ia mengajukan permohonan pindah, pertanyaan yang sama terus kembali. Dengan bahasa Madura yang halus tapi menggetarkan:

“Paserah kyaénah ekaessak?” (Siapa kiainya di sana?) Pertanyaan itu membuatnya diam. Dan diam, bagi seorang santri, adalah tanda ia sedang dididik tanpa suara.

Hari-hari berikutnya dipenuhi kegelisahan. Ia merasa ilmunya perlu berkembang, tetapi ia juga tahu bahwa restu guru adalah pintu keberkahan. Dalam pergulatan batin itu, akhirnya ia kembali sowan, membawa kesimpulan yang lahir bukan dari logika, tetapi dari adab seorang murid kepada gurunya.

“Saya ingin mengikuti isyarah jenengan kiai. Saya diperintah pindah ke pesantren manapun, saya siap sam’an watho’atan

Kalimat itu menandakan pasrah, bukan pasif; taat, bukan tanpa pikir. KH Hasan Genggong menatapnya seperti seorang ayah memandang anak yang sudah mengerti isyarah hati.

Lalu beliau berkata, lirih namun penuh keyakinan: “Dhika ngaji ka Zaini. Gherua kiaè ongguhuwen.” (Sebaiknya ananda berguru pada Kiai Zaini, dia Kiai sungguhan.)

KH Hasan Genggong mengarahkan Kiai Sufyan muda untuk berguru kepada Kiai Zaini Mun’im, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo. Pada masa itu, belum banyak yang mengenalnya. Namanya tidak mengisi baliho pengajian akbar atau disebut dalam majlis besar. Namun seorang guru sejati melihat dengan mata batin: melampaui popularitas.

Mondok: Antara Ilmu dan Guru

Kiai Sufyan muda kemudian mengerti, lewat satu pertanyaan, gurunya telah meletakkan fondasi penting: mondok bukan sekadar belajar, tetapi menyambung sanad keilmuan, merawat adab, dan meniru jejak batin seorang guru.

Ilmu bisa dicari di banyak kitab, tetapi barakah hanya turun lewat guru yang dicintai Allah.

Di sana, santri tidak sekadar membaca teks; ia dibaca oleh teks. Ia tidak hanya mempelajari agama; ia sedang dididik oleh Allah melalui perantara manusia pilihan-Nya.

Pertanyaan itu sederhana, tapi maknanya dalam. Dan hari itu, jalan hidup seorang Kiai Sufyan muda berubah selamanya.

____________

Cerita ini ditulis ulang berdasarkan status WhatsApp Kiai Ma’i Sufyan, putra almarhum KH Ahmad Sufyan Mitahul Arifin. Tulisan utama telah disesuaikan untuk kepentingan penyajian tanpa mengubah alur cerita dan kutipan asli.

KH Sufyan
KH Ahmad Sufyan Miftahul Arifin (Grafis Surau.ID)

Penulis: Redaksi Surau.ID
TAGS
White Surau
Media Kolaborasi Bersama untuk informasi yang lebih dekat dengan pembaca.

Langganan

Dapatkan artikel atau tulisan terbaru dari Surau.id
Copyright © 2025 Surau.id